Nenek Hebat Dari Saga (Saga no Gabai Bachan)

Sebuah kisah nyata di Jepang zaman perang dunia ke-2 tentang seorang “anak nenek”. Seorang anak bernama Akihiro Tokunaga – ayahnya tewas krn tragedi Hiroshima – sehingga ia harus diasuh oleh neneknya di sebuah desa di Saga.

Buku karangan Yoshichi Shimada (nama asli: Akihiro Tokunaga) ini menceritakan pengalaman masa kecilnya saat bersama Nenek Osano. Cerita ini sangat banyak mengajarkan makna hidup yang ‘nrimo’, tak banyak menuntut, selalu gembira meski hidup miskin, dan kita bisa menikmati segala yang ada di sekitar kita apa adanya.

Akihiro dan neneknya adalah keluarga yg sangat miskin. Mengingat masa yang dialami adalah pasca PD II memang banyak rakyat miskin. Namun neneknya berprinsip hanya 2 orang miskin:yang sedih dan yang gembira. “Kita jadi orang miskin yang gembira.”
Tak perlu disesali jadi orang miskin selama masih bisa tercukupi kebutuhan sehari2.

Nenek Osano mengajarkan bahwa uang bukanlah segalanya. Yang penting mereka dapat yang orang dapat beli juga dengan uang. Dan masih halal caranya. Setiap hari Nenek Osano berkunjung ke ‘supermarket gratis’..meletakkan galah di sungai dekat rumahnya untuk mencegat barang2 yg terbuang di sungai, barang2 yg tersangkut di galah diambilnya bisa berupa makanan, sandal, sayuran, dll, walaupun bekas tapi masih bisa dipakai. Hal ini juga berguna untuk mengurangi pencemaran lingkungan.
Setiap hari Nenek Osano juga membawa magnet yg terikat di pinggangnya denga tali panjang…magnet terjuntai di tanah bermaksud untuk “menarik” besi2 yg bersliweran di tanah spt paku, uang logam dll..bila sudah dikumpulkan akan dijual. Begitu caranya mendapatkan uang dan berguna juga untuk kebersihan jalan 🙂

Nenek Osano mendidik cucunya pun juga dengan sederhana. Meskipun sederhana yg penting bisa. Akihiro terpaksa tak bisa ikut olahraga kendo dan judo krn harus mengeluarkan biaya untuk perangkat olahraganya. Akhirnya ia ikut lari dan nyeker,benar2 gratis dan tanpa biaya apapun, tapi berkat itu Akihiro jadi juara marathon di sekolahnya. Dan meraih beasiswa untuk meneruskan studi SMAnya dari guru olahraganya. Dari neneknya, Akihiro pun belajar “memungut uang” untuk kebutuhannya..tanpa minta uang ke neneknya, sehingga dia benar2 belajar mandiri sedari kecil.

Buku ini sangat bagus, simple dan enak dibaca. Baik untuk anak2 maupun orang dewasa. Bahasanya sangat mudah dimengerti dengan tulisan yang cukup besar ukurannya dan tidak terlalu panjang ceritanya namun maknanya sangat dalam.
“Kebaikan yang terbaik adalah yang tak terlihat.”

Sang Pencerah


Membaca buku ini pun membuatku semakin bangga sebagai salah seorang anggota keluarga Muhammadiyah.
Novel karya Akmal Nasery Basral yang juga sudah difilmkan ini menceritakan tentang biografi dari Ahmad Dahlan, seorang tokoh pendiri Muhammadiyah. Buku ini sangatlah enak untuk dibaca, ceritanya sangatlah mengalir dan nyaman membuat kita larut terbawa suasana yang dibawakan oleh sang penulis.

Tidak hanya menceritakan sejarah KH.Ahmad Dahlan, akan tetapi mengenai sisi lain kehidupannya. Segi manusiawi dari Ahmad Dahlan yang sabar, pintar dan berani. Meskipun dia tahu bahwa dia mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya; tapi dia berani menyampaikan idenya atau mengkritik sesuatu. Dan dia tetap sabar meskipun dikritik dan dicaci karena ia yakin bahwa dia benar.

Sosok Ahmad Dahlan yang diceritakan dalam buku ini benar-benarlah seorang tokoh yang patut dibanggakan.
Ternyata dalam mendirikan Muhammadiyah, perjuangan Ahmad Dahlan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini tidak pernah diceritakan oleh guru-guruku waktu aku sekolah di SD Muhammadiyah dulu.

Sekilas mengenai biografi Ahmad Dahlan dalam buku ini;
Seorang pria yang lahir dengan nama kecil Muhammad Darwis di Kauman, DI Yogyakarta, merupakan keturunan dari keluarga kyai. Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim, seorang tokoh Islam yang menyebarkan Islam di pulau Jawa.
Darwis (Dahlan kecil) merasa kurang ‘sreg’ dengan situasi di kampung halamannya. Akan pembawaan Islam yang bercampur adat, yang dirasanya sangat aneh. Saat itu Islam seakan berbaur dengan kebudayaan Hindu-Budha dan sepertinya sudah mengakar di masyarakat.
Penyebaran agama Islam sebelumnya di pulau Jawa oleh wali songo memang melalui mencampurbaurkan dengan budaya yang sudah ada – Hindu dan Budha – agar masyarakat mudah beradaptasi dengan Islam sebagai agama yang baru. Namun sayangnya faham tersebut seperti ‘mandeg’, masyarakatnya tak jua maju untuk mempelajari Islam lebih mendalam dan melakukan pendobrakan ke arah yang murni Islam alias suatu “pencerahan”. Hal serupa pun dirasakan oleh Ahmad Dahlan (Darwis) yang merasakan banyak kejanggalan pada banyak ajaran Islam di kotanya.

Darwis merasa sangat aneh dengan acara selametan, nyadran, sajen dsb. Dia bahkan sering bertanya akan hal yang tak logis – akan tahlilan saat kematian di rumah orang tuanya – buat apa disajikan kue-kue bila tak dimakan dan buat apa pula memaksakan diri melakukan hajatan besar-besaran bila tak mampu sampai bela-belain minjam uang ke rentenir?
Darwis bahkan pernah bertanya secara terang-terangan di sebuah majlis pertemuan para kyai yang diajak ayahnya. Dia menanyakan apa perlu dilakukan tradisi adat seperti selametan yang sepertinya tak ada gunanya dan hanya membuang waktu saja. Ayahnya dan saudara-saudaranya yang juga para kyai memarahinya habis-habisan akan hal tsb.

Ketika beranjak dewasa dan telah meminang Siti Walidah. Darwis berniat pergi haji dan mempelajari Islam lebih dalam. Beliau pergi belajar selama beberapa tahun. Beliau berguru kepada banyak orang. Salah seorang gurunya adalah guru dari KH.Hasyim Asyari (pendiri NU) dan R.A Kartini juga.
Ketika pulang kembali ke tanah air dan menjadi kyai haji. Darwis berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan langsung mendapat kepercayaan dari Kyai Penghulu (ketua dari para kyai di Yogyakarta) untuk menjadi salah satu khatib di Masjid Gede Kauman pada shalat Jum’at di depan Sri Sultan.

Namun, perjalanan Dahlan tidaklah semulus itu. Ceramahnya yang pertama di mesjid Gede yang terlalu Baca lebih lanjut