Narsis dan Riya

 

riya1

Kenapa biasanya orang santai saja bila dicap “narsis” tapi agak risih bila disebut “riya”? Padahal narsis dan riya konotasinya 11-12 alias beda tipis, secara garis besar bermakna akan memperlihatkan kelebihan diri ini kepada publik.

Ingat beberapa waktu lalu sempat heboh di sosmed, tentang seorang ustadz yang diserang netizen karena menyatakan bahwa selfie identik pula dengan riya. Sebenarnya bila dipikir dengan logika..yah ada benarnya juga.

Manusia agak risih dengan istilah “riya” karena identik dengan agama yang berkaitan dengan penyakit hati sehingga menjurus ke arah dosa. Sedangkan “narsis” kesannya lebih santai, lebih kekinian dan lebih populer, lagipula tidak membawa masalah agama…sehingga bisa diterima.

Kata “narsis” berasal dari nama dewa Yunani Narcissus yang kagum melihat dirinya sendiri ketika melihat bayangannya di air; sehingga dia sangat sering “mengaca” di kolam dsb dan selalu merasa dirinya yang paling tampan. Lalu nama ini diambil pula dalam ilmu kedokteran menjadi salah satu jenis gangguan jiwa yaitu waham narsisme dimana seseorang selalu merasa dirinya lebih dibandingkan yang lain dan selalu membanggakan dirinya. Kemudian saat ini, kata ini dipersingkat lagi menjadi bahasa gaul dengan kata “narsis” yang berarti orang yang suka eksis di dunia maya.

Sedangkan “riya” adalah salah satu jenis penyakit hati dalam agama Islam yang berarti orang yang suka memamerkan dengan memperlihatkan  kelebihan dirinya kepada orang lain.

Memang segala hal jauh lebih sensitif bila dikaitkan dengan agama. Termasuk dalam urusan istilah. Sama seperti waktu seorang ustadz ‘memfatwakan’ tentang selfie; padahal beliau hanya mengganti istilah bangga dengan kata ujub, istilah narsis dengan kata riya, kata sombong dengan takabur….dan langsung para netizen pun ‘mengamuk’. Secara itu hanya sinonim dan mengganti bahasa Indonesia dengan bahasa Arab 🙂

Pertama kali kita “terjangkit” penyakit  riya berawal dari ‘virus’ yang bernama bangga. Sebagai manusia kita memang harus bangga terhadap diri kita sendiri, bangga terhadap apa yang kita miliki sebagai unggapan rasa syukur akan segala nikmat yang kita dapat di muka bumi ini. Hanyaaa….sayangnya ketika ada rasa bangga, setan pun mempunyai kesempatan untuk menggoda kita agar berbuat dosa. Sama seperti kita yang terjangkit penyakit infeksi, apabila ‘daya tahan’ atau ‘imun’ kita lemah terhadap virus bangga yang menyerang kita, maka akan berlanjut menjadi penyakit hati untuk terus menerus membanggakan diri sehingga menjadi riya dan takabur. Astaghfirullah. Maka, sebaiknya kita memperkuat ‘daya tahan’ iman kita dengan memperbanyak istighfar apabila memiliki rasa bangga agar tidak menjadi penyakit hati. Tidak adanya salah lho kita punya bangga, hanya tergantung bagaimana kita memanagenya agar dapat tidak berdampak buruk bagi hati kita.

Bila kita bertanya kepada diri sendiri, sebenarnya apa sih yang memotivasi kita mengupload foto di sosmed? Pastinya karena ada rasa bangga makanya kita ingin publik or netizen lain melihatnya. Terus terang saya sendiri pun tidak akan mengupload foto diri sendiri yang tampak jelek dan memalukan. Kita pasti ada rasa bangga akan anak kita yang lucu, istri yang cantik, rumah yang baru, makanan yang enak atau tempat wisata yang kita kunjungi tampak menarik di foto itu. Makanya kita ingin menguploadnya ke sosmed. Kita mungkin memang tidak ada niat riya atau pamer. Hanya sekedar mengikuti zaman saja, sedang kekinian, dan mengikuti masa digital informasi dimana memang sedang era-nya seperti ini.

Naah….disinilah sulitnya kita mengenal riya. Memang penyakit hati ini susah-susah gampang. Dimana kita sendiri tidak tahu apakah kita ini sudah terjangkit penyakit ini atau tidak? Kata orang semua tergantung niat. Ok, semua memang tergantung niat. Tapi semua orang – termasuk saya – pasti menyangkal bila dikatakan berniat pamer atau riya.
Satu hal lagi, setan itu tak akan pernah berhenti mengganggu anak cucu Adam. Bagaimanapun caranya, mereka selalu menggoda kita. Dan – mungkin – sekarang lewat akses sosmed, setan pun bergembira karena ada ‘media’ yang mudah membantu mereka untuk menggoda kita.

Dan biasanya bila ada yang berkoar-koar tentang riya seperti ini, pasti selalu saja ada yang membantahnya. Akan dikatakan tak perlu risih akan urusan orang lain, tak perlu mencampuri urusan apakah orang itu riya atau tidak. Padahal maksudnya sekedar reminder kepada diri ini sendiri, karena kita juga tidak tahu apakah apakah kita ini riya atau tidak.

Lagipula “riya” adalah salah satu bahaya yang ditakutkan Rasullullah akan muncul pada umatNya sebagai syirik kecil.

Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil yaitu riya/ingin dilihat atau dipuji orang” (HR Ahmad)

Riya dikatakan syirik kecil karena kita merasa diri kita mempunyai kelebihan sehingga lupa diri dan bertingkah seperti “Fir’aun”. Tanpa sadar kita mengganggap diri ini – atau bagian dari kita seperti keluarga, harta, pekerjaan, prestasi, profesi – ibarat “tuhan”, merasa sebagai satu-satunya dan yang terbaik di mata kita. Dan itu adalah syirik. Astaghfirullah.

Riya memang penyakit hati yang sangat tersamarkan. Katakanlah kita nawaitu karena Allah, tapi saat calon mertua yang melihat; tiba-tiba kita shalat jadi lebih lama. Kita niat sekedar kekinian saja mengupload foto di sosmed, tapi ketika ada yang memuji tiba-tiba muncul rasa bangga ibarat tak berujung…dan merasa diri kita populer. Kita niat dakwah, tapi tiba-tiba ada sajaa godaannya…kita merasa jauh lebih pintar dsb. Justru godaannya tak sekedar di niat saja.

Lalu apakah selfie, upload foto di sosmed atau eksis di dunia maya dsb itu dilarang? Perkara eksistensi di dunia maya selain dilihat dari niat, selama tak berlebihan dan tak mengundang fitnah sepertinya masih sah-sah saja. Selebihnya itu semua tanggung jawab yang punya akunnya 😀 Wallahuallam.

Ternyata ‘riya’ memang cukup rumit dan luas maknanya. Tak hanya sekedar berhenti di niat saja, tapi selama proses juga bisa ada godaan untuk itu.  Riya tak sekedar sesuatu yang dilakukan sebatas upload foto atau update status di sosmed, ‘riya’ bisa berupa  sikap atau perbuatan apa saja dalam kesehari-harian. Bila narsis berarti memperlihatkan diri di sosmed, riya lebih luas lagi maknanya…tak terbatas sosmed semata 🙂

Kembali lagi ke pertanyaan semula, bagaimana kita mengenali apakah kita ini riya atau tidak? Dimana kita sendiri sulit mengenalnya, karena biasanya saat melakukan sesuatu kita pasti yakin tidak ada niat riya …but who knows except the God? Sulit memang. Tapi biasanya penyakit hati itu satu “paket” Biasanya bila kita terkena penyakit hati seperti sombong atau riya, maka ada kemungkinan kita terkena penyakit hati yang lain seperti iri dan dengki. Riya dan sombong memang sulit dikenal (baca : diakui) diri sendiri, tapi apabila kita mudah terhasud rasa iri atau dengki melihat kelebihan orang lain….perbanyak taubat dan beristighfar agar dibersihkan hati ini supaya kita pun dijauhkan dari sifat riya. Wallahuallam. (arlin)

Tinggalkan komentar