Tenggelamnya Kapal Van der Wijk

Ketika melihat judul roman ini – terutama setelah filmnya launching – banyak yang salah paham akan isi cerita roman ini. Banyak yang mengira bahwa isi ceritanya mirip dengan kisah klasik alias film “Titanic”. Apalagi saat filmya ditayangkan, yang menjadi cover filmnya adalah gambar kapal 🙂

Don’t judge the book by its cover. And it’s true. Cerita tentang kapal Van der Wijk-nya hanyalah sepenggalan kisah saja dari seluruh kisah roman yang menakjubkan ini. Intisari dari roman ini adalah tentang adat minangkabau yang ternyata dapat menghalangi kisah cinta dua pasang pemuda yang sedang di mabuk asmara.

Buku ini merupakan karya sastra dari sastrawan dan tokoh agama di Indonesia, Hamka alias Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Cerita roman berlatar belakang Sumatra Barat menceritakan tentang adat minangkabau. Roman ini ditulis oleh Hamka sekitar tahun 1940-an namun ceritanya bisa bertahan sepanjang zaman karena makna yang dikandungnya.

Diceritakan bahwa adat minangkabau merupakan matrilineal alias dominan ibu. Kaum hawa merupakan yang “berpengaruh” di ranah minang. Dan itu sudah membudaya secara turun temurun. Sangat berbeda dengan budaya adat lain yang ada di negeri ini dimana yang mendominasi adalah kaum Adam. Saat itu budaya adat masing-masing suku masih kental, dan belum toleransi dengan suku lain seperti sekarang. Namun ternyata berakibat fatal ketika dua orang dari adat yang berbeda hendak menikah.

Dikisahkan seorang pemuda bernama Zainuddin, Baca lebih lanjut

Gadis Pantai

Roman karya Pramoedya Ananta Toer kali ini sebenarnya merupakan trilogy (terdiri dari 3 seri), tapi ternyata hanya ada SATU buku saja yang ‘terselamatkan’ dan kini beredar di tanah air. Dua buku lanjutan dari Gadis Pantai ini hilang entah kemana ditelan oleh kuasa zaman orde baru. Ajaibnya lagi buku Gadis Pantai ini justru terselamatkan oleh mahasiswa dari Australia yang mendokumentasikan karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Novel Gadis Pantai ini menurut pengarangnya menggambarkan feodalisme Jawa – antara kaum priyayi dan rakyat jelata – pada masa penjajahan dulu. Mengisahkan kehidupan seorang gadis – sang Gadis Pantai – yang cantik jelita dengan kulit kuning langsat dan hidup di kampung nelayan di Rembang, Jawa Tengah. Gadis Pantai ini memikat hati seorang pembesar administratif di kota dan melamarnya untuk menjadi istri. Istri seorang priyayi yang berasal dari kampung saat itu bukanlah dianggap ‘istri’ dalam definisi sesungguhnya. Ia hanya sekedar pemuas kebutuhan seks semata atau bisa dikatakan sebagai selir.

Kisah sang Gadis Pantai sebagai istri seorang priyayi sangatlah fluktuatif. Gadis Pantai yang masih berusia sangat muda (14 tahun) dan belum mengerti apa-apa alias sangat polos harus berpisah dengan orang tuanya. Kehidupannya yang semula hanyalah anak seorang nelayan di kampung berubah menjadi ‘seorang istri pembesar’ dimana dia tak bisa sembarang bergaul dengan orang lain, bebas untuk memerintah orang, harus banyak belajar;menyulam,membatik, mengaji dsb, dan setelah ia berpisah dengan orang tuanya pun; Gadis Pantai tetap kurang mendapatkan kasih sayang dari suaminya. Gadis Pantai masih beruntung mempunyai pelayan yang sangat setia untuk mendengarkan curhatnya. Hanya saja, tiba-tiba terjadi peristiwa yang menyebabkan pelayan tersebut dipecat. Gadis Pantai mendapatkan pelayan baru yang cantik hanya saja orangnya tidak setia dan Baca lebih lanjut

Bukan Pasar Malam

Bukan Pasar Malam

Novel berupa roman ini merupakan salah satu karya dari penulis sastra terbesar di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Novel ini termasuk tipis, 104 halaman, bisa dibaca dalam waktu singkat namun maknanya sangatlah dalam.

Selain roman, isi dari novel ini juga bermakna hal religi, suatu yang mengingatkan kita akan kematian yang tak bisa dihindari. Serta perjuangan seorang gerilyawan (mantan gerilyawan) yang kecewa akan politik negerinya dan tetap memilih jalan hidupnya untuk mengabdi sebagai seorang guru.

Roman ini mengambil episode kira-kira pada masa revolusi dimana seorang pria paruh baya, menikah dan bekas tawanan yang tiba-tiba mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Terpaksa pria tersebut mengorbankan pekerjaannya demi menjenguk ayahnya yang tinggal di Blora, Jawa Tengah. Bersama istrinya beliau meninggalkan Jakarta menuju Blora dengan dihantui perasaan kuatir dan merasa bersalah kepada ayahnya di sepanjang perjalanan.

Sesampainya di Blora, diketahui bahwa ayahnya menderita TBC, penyakit yang sedang mewabah saat itu dan dipastikan menyebabkan kematian.
Dideskripsikan dengan sangat mendalam oleh sang penulis akan penderitaan ayahnya yang dirawat di Rumah Sakit. Kita pun dapat merasakan dan larut terbawa cerita yang singkat namun sangat menawan ini. Tentang silaturahmi sang pria – ‘aku’ sang tokoh utama – sebagai anak sulung terhadap saudaranya yang lama ditinggalkannya. Kasih sayang antara ayah dan anak, kasih sayang kakak terhadap adiknya yang selalu menangis setiap menjenguk ayahnya, rasa penyesalan akan sikap kasar – yang disampaikan via surat – sang pria terhadap ayahnya. Roman ini terus mengingatkan kita akan cinta dan kasih sayang antara orang tua yang sekarat dan anak-anaknya.

Salah satu kalimat menarik di dalam roman ini adalah “bila rumahnya rusak maka yang punya juga akan rusak”. Seakan mengingatkan kita bahwa kita juga harus terus memperbaiki lingkungan di sekitar kita – lingkungan tempat orang yang kita sayangi – karena merekalah kita ada dan tanpa mereka kita tak dapat hidup sendiri di dunia ini. Semuanya adalah lingkaran kehidupan, cinta antara keluarga tak akan ada habisnya, janganlah putuskan silaturahmi antara keluarga dan orang terdekat karena kita hidup saling bergantungan.

Rasa kecewa ‘rakyat biasa’ – yang sampai saat ini masih kita rasakan – tertuang pula dalam roman ini. Perihal sang ayah tidak segera tertolong untuk dirawat di tempat khusus penderita TBC (sanatorium) karena hal itu hanyalah harapan kosong biasa. Sanatorium saat itu hanyalah tersedia bagi kalangan pejabat. Padahal sang ayah pernah mendapat tawaran jadi wakil rakyat tapi ditolaknya karena menurutnya ‘perwakilan rakyat hanyalah panggung sandiwara’ (mungkin kalimat inilah salah satu penyebab mengapa roman ini dilarang terbit pada masa Orde Baru).

“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam. “ (Pramoedya Ananta Toer).

Roman ini sangat menarik untuk dibaca. Selain dari segi sastra, roman ini juga bisa dikatakan berfungsi pula sebagai salah satu Baca lebih lanjut