Hoax vs Honesty

Semua orang sepertinya benci akan hoax.

Yang berhubungan dengan hoax identik dengan keburukan atau segala sesuatu yang negatif.

Karena hoax memiliki makna bohong alias dusta, palsu atau fake. Dan semua orang pasti benci itu. Siapa yang tidak benci bila di bohongi? Siapa yang tidak muntah bila diselingkuhi oleh kekasihnya? Siapa yang tidak kesal bila Pemilu curang?  ….dan semua itu hoax!

Hoax adalah kebalikan dari kebenaran. Segala sesuatu yang palsu, munafik, bohonng, dusta, pura-pura, curang, penipuan…itu semua hoax. Dan itu sekarang yang sekarang sedang trend di masyarakat kita. Segala berita atau kabar kadang sulit dipercaya karena marak akan isu “hoax” tadi. Semua orang kurang yakin apakah itu berita itu hoax atau benar. Dan entah mengapa justru berita hoax yang jauh lebih cepat menyebarnya. Meskipun kita tahu bohong itu dosa, lalu ada ancaman hukuman bagi penyebar hoax tapiii tetap saja hoax tetap ada dimana-mana.

Yup! Karena segala sesuatu yang identik dengan keburukan memang cepat menyebarnya. Sebagaimana bau sampah yang kita tahu baunya tidak enak, tapi kita tetap saja buang sampah sembarangan di mana-mana.

Kebalikan dari hoax alias kebohongan adalah kejujuran. Dan semua orang pasti tahu jujur itu baik. Bila bohong alias hoax identik dengan maling maka jujur identik dengan kebenaran. Semua orang ingin anaknya jujur, tidak bohong pada orang tuanya, tidak suka mencontek. Semua orang ingin pasangannya jujur; tidak selingkuh atau berdusta. Semua orang ingin Pemilu yang jujur dan adil; tidak ada yang curang, data palsu dsb.

Tapi benarkah begitu? Benarkah dalam keseharian kita jujur itu suatu yang benar?

Simaklah kisah ini…

Saat kecil,  orang tua pernah berpesan kepada kita agar ketika ada tamu datang ke rumah jangan katakan mereka (ortu) ada meskipun kenyataannya ada. Atau bilang mereka lagi sakit padahal lagi jalan-jalan. Berarti kita sudah diajarkan untuk menyebarkan hoax kan sejak kecil?

Lalu bagaimana bisa mempunyai pemerintah atau masyarakat yang jujur bila kita sudah mengajarkan anak untuk bohong sejak kecil…? Baca lebih lanjut

Tiada Yang Sempurna

Upin dan Ipin tengah asyik bermain kejar-kejaran, namun tiba-tiba Ipin tersandung batu dan jatuh. Kaki Ipin patah. Ipin tak bisa bermain lagi, duduk diam di depan TV dan selalu minta tolong saudaranya,Upin, bila ada yang ingin diambilnya dan tak terjangkau karena tak bisa berjalan. 

Akhirnya Ipin pun diberi tongkat untuk membantunya berjalan. Ipin sangat senang. Keesokannya Ipin mencoba ikut bermain petak umpet bersama temannya. Beberapa kali Ipin mencoba namun tetap tak berhasil, permainan jadi tak seru karena langkahnya Ipin tertinggal – lebih lambat – dibandingkan temannya. Semakin Ipin mencoba, dia pun semakin tersiksa. Akhirnya Ipin menyerah. Ipin memutuskan berhenti bermain dan istirahat di saung pinggir lapangan. Ipin semakin sedih dan menyesal sambil melihat temannya bermain, kaki serta tongkatnya. 

^_^

Tak ada yang sempurna di dunia. Meskipun kita terlahir dalam keadaan fisik sempurna. Lengkap dengan segala tangan kaki yang berfungsi. Namun alam pula lah yang bicara. Seiring dengan waktu segalanya bisa berubah. Seperti Ipin yang terlahir sempurna dan biasa bermain mendadak terkena musibah sehingga tak bisa jalan. 

Wajar bila Ipin menyesal dan sedih. Dia seperti kehilangan kehidupan lamanya; bermain, berlari, yang kini tak dapat dilakukan lagi.Kini dia pun harus tergantung kepada orang lain. Setiap memandang temannya, Ipin hanya iri karena dia dulu merasa bisa namun sekarang tidak. 

^_^



Ipin  tak sendiri di dunia ini. Masih banyak yang senasib dengannya. Dimana merasa dirinya cacat (disable) tak sedari lahir. Sehingga agak sulit untuk beradaptasi dan menerima kondisinya. 

Kita tercipta oleh Sang Maha Penguasa Alam Semesta. Dan kita pun harus bersatu dengan alam. Kita harus mengikuti aturannya. Semua sudah di atur mengapa harus ada yang tinggal di darat, laut maupun di udara. Agar bumi ini bisa saling melengkapi. Semua sudah di atur sesuai kemampuannya. Tak mungkin kita memaksakan ikan tinggal di darat, atau ayam tinggal di laut. Sama saja dengan membunuh mereka. 

Semua sudah di atur sesuai scope-nya masing-masing. Meskipun kita sudah berusaha untuk mencoba, bila alam tak mengizinkan kita tetap saja tak akan bisa. Kita tak bisa memaksa diri sesuai kehendak agar kita sama dengan yang lain. Lihatlah Ipin  yang sudah mencoba berlari meskipun sudah dibantu tongkat tetap saja tak berhasil. Dan apabila terus dipaksakan, Ipin bisa saja akan celaka dan kaki yang masih sehat pun akan lumpuh pula. Ipin awalnya memaksa diri karena ambisi dan terobsesi oleh lingkup sekitar yang sempurna. Namun akhirnya dia pun sadar akan kondisinya.  Apakah Ipin menyerah? Tidak. Dia telah mencoba. Meskipun gagal. Setidaknya itu adalah jawaban memang dia tak bisa melakukannya. Seseorang dikatakan menyerah apabila belum mencoba sama sekali dan sudah putus asa. 

Lalu mengapa ada orang seperti Ipin? Yang mendadak mengalami tidak berfungsinya alat gerak tubuh namun tak sedari lahir, sehingga sulit beradaptasi?

Masih ingat metamorfosis sempurna yang di alami kupu-kupu? Semula ulat yang hidup di tanah dan berubah menjadi kupu-kupu yang bisa terbang. Semuanya adalah kehendak Sang Pencipta dan harus bersatu lagi dengan alam ciptaanNya. 

Begitu pula dengan Ipin, harus berupaya beradaptasi di alam mana dia harus berada. Tak akan mungkin seekor kupu-kupu merayap terus di atas daun. Dia harus belajar terbang,  mengelilingi bunga dan mengisap nektarnya. Banyak orang yang jijik akan ulat namun semua orang menyukai kupu-kupu. 

Mungkin saat ini Ipin menyesali keadaannya yang tak bisa berlari namun suatu hari dia akan menyadari justru itulah anugrah terindah yang pernah dia miliki. Sebagaimana kupu-kupu cantik yang mampu menyuburkan bunga dan menghiasi indahnya taman.

Setiap orang diberi kelebihan dan kekurangan. Kita mungkin tak bisa berjalan, tapi itu pasti karena kita bisa “terbang”😉

Actually, being disable is a gift. Trust me😊

And just like Ipin,  you’re not alone.  (arlin)

Jakarta, 1 April 2015

Saya Ingin Seperti Mereka

….dan ternyata mereka ingin seperti saya! 

Rakyat ingin seperti Presiden yang mempunyai kekuasaan. 
Namun Presiden ingin seperti rakyat yang mempunyai kebebasan.

Pembantu ingin seperti majikan yang setiap hari ikut arisan dan pergi ke mall.
Namun majikan ingin seperti pembantu yang hanya numpang tidur dan makan namun masih menerima gaji bulanan. 

Atasan ingin seperti bawahan yang tidak perlu bertanggung jawab apabila ada kesalahan. 
Namun bawahan ingin seperti atasan yang gajinya lebih besar. 

Karyawan ingin seperti direksi yang mempunyai posisi jabatan dan penghasilan tertinggi.
Namun direksi ingin seperti karyawan yang kerja apapun pasti dibayar tanpa takut terancam bangkrut perusahaannya.

Dan itulah manusia.  Manusia yang tak pernah puas diberi nikmat apapun.
Selalu membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

 “Rumput tetangga selalu lebih hijau”

…..kelihatannya (saja) lebih hijau…..kita tidak tahu di halaman tetangga apakah banyak semut merah, cacing atau tanah yang selalu kering. Kita hanya melihat “rumput”nya saja.
Kita selalu iri dengki akan kelebihan orang lain. Sehingga selalu berpikir bahwa dunia ini tidak adil. So what? Semua orang diberi beban dan cobaan menjalani hidup, hanya saja berbeda-beda jenis cobaannya. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita selama ini hanya melirik “rumput” tetangga saja, tidak melihat “tanah” atau “pohon”nya. Itulah yang membuat kita dengki dan selalu ingin seperti orang lain.

Sebelum melihat rumput tetangga, sebaiknya kita lihat rumput kita sendiri. Setiap hari kita menyiram dan menyiangi rumput kita. Tetangga kita sebenarnya pun iri melihat hijaunya rumput di halaman kita. Lalu buat apa kita  merasa rumput tetangga lebih hijau, padahal tetangga kita pun tak mempunyai halaman yang ditumbuhi rumput sehelai pun ? 😄

(Arlin, 10/3/14)

Minoritas – now and forever

Rasulullah SAW bersabda,” jadilah kalian orang yang sedikit”

Orang yang sedikit akan bertemu dengan yang sedikit pula. Seperti pada zaman Rasulullah, saat itu sedikit sekali yang mengikuti ajaran Rasulullah, yang mayoritas saat itu adalah golongan jahililiyah. Karena sedikitnya pengikut Rasulullah, maka ketika hijrah dari satu tempat ke tempat lain, para pengikut itu akhirnya bersatu walaupun sebelumnya mereka tidak mengenal satu sama lain.

Sampai sekarang masih banyak golongan yang dianggap sedikit oleh masyarakat luas. Mungkin pada negara-negara barat golongan ini bisa dianggap sebagai kaum minoritas; contohnya pada yang komunis dsb. Orang-orang yang sedikit ini memang mendapat anggapan ‘aneh’ dsb dari masyarakat karena pandangan atau pola hidup mereka yang berbeda dengan orang kebanyakan. Pada masyarakat kitapun akhir-akhir ini banyak diisukan adanya beberapa kaum minoritas antara lain : sekelompok orang yang pro atau pun kontra terhadap RUU, masyarakat yang mendukung diberi keringanan terhadap hukuman mantan presiden Soeharto, organisasi Islam Ahmadiyah, jamaah Islam yang shalat dengan bahasa Indonesia, para pengikut mbah Maridjan yang masih percaya hal mistik berkenaan dengan ancaman gunung Merapi,… dan masih banyak lagi segolongan orang yang tingkah lakunya membuat publik menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sebenarnya dari semua kaum minoritas tersebut, kita sungguh buta mana yang benar dan mana yang salah. Kita—mayoritas—dan mereka –minoritas – sama-sama manusia, bukan malaikat yang tanpa cela sama sekali. Kita semua hanya manusia yang tidak pernah lepas dari salah. Kita bukan Tuhan, tidak bisa menjudge orang sembarangan apakah ia benar atau salah.

Sayangnya, kita suka tidak bisa menerima begitu saja bila ada seseorang yang salah ataupun beda pendapat dengan kita. Sulit rasanya untuk memaafkannya, kita langsung complain atau menjauh atau langsung memusuhinya bila ada seseorang yang kurang ‘sreg’ kelakuan atau komentarnya. Rasanya sangat sulit untuk menerima keadaan orang itu. Dan tidak bisa sedikitpun untuk memaafkannya ataupun mengingat jasa yang telah dilakukannya.

Baca lebih lanjut

Uang Memang (Bukan) Segalanya

Benarkah uang bukan segalanya? Sepertinya yang berpikir demikian pastilah terlalu naif. Banyak orang berkata uang bukan segalanya.. masih ada cinta, keluarga, ibadah, dsb. Tapi dibalik semua itu hanyalah uang!

Bayangkan untuk yang namanya cinta, orang untuk membuktikan cintanya pun butuh uang. Kita pacaran buat nonton, makan bareng, ngasih coklat, nelpon, sms, semuanya butuh uang. Buat keluarga juga butuh uang; anak istri tiap hari pastinya butuh makan, belum lagi kebutuhan rumah tangga untuk bayar segala macam tagihan listrik dan urusan tetek bengek yang pastinya butuh uang. Ibadah memang kesannya simple, tapi dibalik itu kita butuh uang; untuk shalat kita butuh perangkat ibadah, buat naik haji butuh biaya besar, untuk zakat- infak – sedekah pun kita perlu dana, buat puasa kita butuh biaya untuk beli tajil, apalagi buat lebaran. Sebagai umat beragama kita disarankan agar dapat saling memberi dan bisa mencukupi kebutuhan primer keluarga kita. Dan dibalik semua itu yang berperan adalah uang.

Sejak zaman dahulu uang ditetapkan sebagai alat pembayaran yang sah. Dan untuk mendapatkan kebutuhan primer kita harus membayar. Kebutuhan primer seperti pakaian, makanan, tempat tinggal perlulah kita bayar dengan uang. Kalau tidak dibayar berarti kita maling. Selain kebutuhan primer, masih ada kebutuhan sekunder dan tertier seperti jalan-jalan alias hiburan. Dan pastinya juga butuh uang.

Dipikir…pikir memang benar uang ternyata segalanya. Kita semua butuh kerja, untuk cari uang. Bayangkan bila jadi pengangguran, pastinya ga happy deh, kita ga bisa jalan-jalan ke mall…(pastinya bete lihat-lihat aja tapi dalam hati yakin ga akan ada yang bisa terbeli), ga bisa makan enak di kafe, ga bisa jalan-jalan ke luar kota…dan kita ga mau kan jadi maling atau copet.

Tapi dibalik itu semua memang tergantung bagaimana sisi pikiran kita. Coba lihat, kita butuh apapun yang dibayar dengan uang tapi Baca lebih lanjut

Macet

Setiap hari, saat di jalan, kita pasti bertemu dengan peristiwa macet. Umummnya macet sering membuat emosi. Tapi tahukah sebenarnya macet itu adalah anugerah yang perlu disyukuri…(lho..??kenapa?pasti banyak protes).
Macet adalah anugerah, karena macet adalah suatu bukti bahwa kita tidak hidup sendiri di muka bumi ini. Mengingatkan kita akan hablumminannass (selain hablumminallah). Macet adalah bukti bahwa di jalan raya ada manusia lain pengguna jalan, sebenarnya di jalan pun merupakan salah satu wadah untuk silaturahmi manusia.
Hmmm…bukannya kalau macet orang cenderung emosi? Nah,,,itulah pikiran orang selalu berpikiran negatif. Marilah kita usahakan untuk positive thinking selalu….Bayangkan yah…bila kita sendirian terus di jalan, jalanan lancar, sampai tujuan dengan tepat waktu. Hati senang memang, tapi…bila sesuatu terjadi di jalan kayak mogok atau ban kempes atau ortu mendadak kena serangan jantung di jalan secara di jalan sepi…kosong, mau minta tolong sama siapa? Mungkin perumpamaan ini terlalu berlebihan, but who knows? atau cukup hal sepele saja di jalan seperti tersesat…kalau macet kita bisa lanngsung nanya “tetangga” sebelah yang lagi sms-an di motor sambil nunggu macet…tapi bila lalu lintas lancar kita juga harus berbingung ria mencari tukang rokok/parkir buat nanya karena semua motor dan mobil pasti ngebut.

Bila ditanya apa sih penyebab macet? Pasti akan bikin capek pikiran saja. Karena bila sampai tujuan pun,,ternyata tidak ada
penyebabnya, tetap saja macet sampai tujuan tanpa ada mobil mogok, kecelakaan, banjir, dll.
Dulu, kata orang, macet gara2 si Komo lewat….ini jauh lebih tak masuk akal lagi, meskipun benar2 ada mahluk yang namanya si “Komo” tapi sepertinya lalu lintas malah lancar bukannya macet, karena semua orang takut melihat mahluk yang kayak dinosaurus itu,,takut keluar rumah, dan pengguna jalan pun langsung kabur 😀

Kembali berpositive thinking tentang macet (supaya nggak bete terus di jalan), memang sudah fitrahnya macet di jalan. Karena jalanan memang bukan milik kita sendiri, milik semua orang, segala macam kendaraan baik mobil, motor pribadi atau kendaraan umum pasti tumpah ruah di jalan raya. Jalan raya memang milik bersama, wajar saja bila harus mengantri alias macet. Tak hanya di jalan raya, di segala fasilitas umum kita kan memang terbiasa harus mengantri; di toilet umum, ATM, Bank, pasar, loket kereta api saat lebaran, di tempat ibadah kayak di mall aja kita harus ngantri shalat krn banyak penggunanya tapi kecil tempatnya sampai kadang kita pun sampai harus berkorban pas ngantri shalat jadi terpaksa harus ngatri wudhu (lagi) karena -maaf- kentut.
Nah…, bila dipikir2 jauh lebih banyak pengorbanan orang yang ingin shalat di mall daripada kena macet, yang ingin shalat berapa kali dia terpaksa ngantri (ngantri wudhu,ngantri shalat, ngantri wudhu lagi krn batal, ngantri shalat lagi) secara waktu shalat sangat terbatas. Sedangkan mengantri di jalan raya sudah menjadi ‘makanan pokok’ kita sehari2, dimana kita telah terbiasa menghadapinya….dan tidak masalah bila kita kentut 🙂 Asal jangan kentut di busway, kasihan penumpang lainnya.
Namanya tempat umum yah harus lah biasa berbagi – kecuali bagi para pejabat dan presiden kaliii….
Selama kita belum bisa jadi presiden, yah harus mau rela dan ikhlas berhadapan dengan macet.

Kapan biasanya macet? Baca lebih lanjut

Pilihan

Seperti lagunya Doraemon “aku ingin begini..aku ingin begitu”. Hidup ini adalah suatu pilihan dari setiap orang ingin menjalani hidupnya dengan cara apa.

Banyak orang yg men”judge” kita harus hidup normal dan serba lempeng..lurus apa adanya…lalu muncul pertanyaan sana-sini bila ada yang berjalan tidak semestinya. Seorang yang tampak sehat fisik jasmaniah tapi jalan dipapah, sementara terlihat orang yang tampak cacat tapi bisa berjalan tanpa kursi roda. Kita tidak tahu apa penyebabnya “mengapa begini dan mengapa begitunya” tanpa kita bertanya langsung alasannya. Kita bertanya pun belum tentu mendapatkan langsung jawabannya, karena semua orang pasti berhak memiliki rahasia hidupnya. Dan sangat tak etis bila kita mengubek2 rahasia hidupnya.

Biarkanlah setiap orang menikmati pilihan dalam hidupnya. Selama itulah yang nyaman baginya. Hidup adalah pilihan…”Aku ingin begini..aku ingin begitu..”Tak perlu menuntut setiap orang untuk hidup sebagaimana yang normal kita lihat.

Keluhan Tentang Cuaca

“Yaah hujan lagi…”…”Uuh panas banget yah hari ini!” ; “Dingin bener…jadi males ngapa2in”; “Panas..silau..males keluar rumah”; “Bete..Bandung ujan mulu..jadi banjir dan macet dimana2″..dst..dst..

Masih banyak lagi kalimat hujatan dan keluhan mengenai cuaca yang kita dengar sehari2. Dan sepertinya sudah menjadi refleks spontan dari lidah kita. Cuaca selalu bersalah, selalu jadi tersangka utama bila ada masalah. Hujan salah, panas pun salah. Itulah ego manusia. Serakah dan tak pernah puas.

Segala suasana disalahkan karena cuaca. Jemuran yang tak kunjung kering karena hujan. Pusing karena panas. Mobil kotor karena hujan; kekesalan muncul karena sudah capek2 nyuci mobil tiba2 hujan deras. Ban pecah disalahkan karena panas. Ngomel seharian di jalan karena macet ..dan lagi2 yang disalahkan hujan yg bikin becek sana-sini dan banjir dimana2. Walaupun tak hujan,kita tetap mengutuk cuaca panas bila terjebak macet..”Sebel Jakarta udah macet dimana2,panas lagi.” Kita juga mengutuk cuaca bila sakit..gara2 kehujanan,jadi bersin terus nih.

Memang benar adanya beberapa penyakit disebabkan oleh suatu musim atau cuaca. Common cold,ISPA,alergi cenderung terjadi pada musim dingin. Sementara DHF (demam berdarah) atau malaria cenderung terjadi pada cuaca panas. Namun kita manusia. Bukan hewan. Manusia diberi suatu kelebihan oleh Tuhan; yaitu akal. Kita diberi kemampuan untuk berpikir. Kita tahu penyakit2 tertentu yang diakibatkan suatu musim, tapi kita bisa belajar mengatasinya untuk mencegahnya. Kita bisa membaca dsb.
Cuaca…hujan atau panas; musim salju atau musim gugur adalah suatu anugerah dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang patut kita syukuri. Bukan untuk kita kutuk. Bayangkan bila tidak ada hujan, apakah yang dapat membantu petani menyirami sawahnya?kita tidak bisa makan..sungai pun akan kekeringan..laut akan tandas,ikan di laut akan mati.akan makan apa kita hidup dalam kekeringan?
Siklus hidup akan hilang begitu saja.
Sebaliknya bila tidak ada panas..hujan terus menerus..kemungkinan kita akan dilanda banjir Nabi Nuh.

Segala fenomena alam pastilah ada risikonya. Namun itu semua adalah tanda2 kekuasaan Allah. Sesuatu yang harus kita kagumi karena merupakan tanda2 keberadaanNya. Tidak ada yang bisa mengendalikan cuaca di bumi ini selain Allah, suara halilintar, teriknya matahari, derasnya hujan hanya Allah yang mengatur.
Manusia sebagai mahluk satu-satunya yang dikaruniai akal seharusnya bisa mengatasi segala risiko yang diakibatkan cuaca, bukan hanya sekedar mengumpat. Bila kepanasan, kita bisa menyalakan AC,kipas angin, makan es krim, mengenakan pakaian yg nyaman, atau cuci muka dan mandi.
Bila kedinginan kita bisa mengenakan sweater, minum secangkir kopi hangat, makan baso, gosok minyak kayu putih.
Bila dilanda macet, kita bisa beralih ke jalur alternatif,,,bila jalur alternatifnya macet juga masih banyak yg bisa dilakukan di kala macet: baca,mendengarkan musik, berdendang, berikan infak kepada pengamen di sekitar kita atau lebih baik lagi..istighfar!
Tak ada gunanya mengumpat yang capek juga kita sendiri dan macet tetap ada…apalagi kalau menulis kalimat umpatan yang mengutuk macet di situs jejaring sosial..tak akan ada manfaatnya!Lebih baik kita tersenyum kepada orang2 yang kita jumpai kala macet entah itu pedagang asongan, pengamen, pengemis, penyebrang jalan, atau sesama korban macet..karena senyum itu adalah amal.. 😀 itung2 kita beramal kala kena musibah macet..nah jadi banyak amalnya kan kalo terjebak macet.

  • Nikmati suara derai air hujan.
    Gemuruh petir nan bersahutan.
    Indahnya terik matahari.
    Awan berarak di langit biru.
    Matahari kerap menantang tatapan mataku.
    Namun tak ada yang menyaingi cantiknya lembayung senja.
    Manisnya uraian pelangi.
    Semuanya adalah tanda kuasa Illahi.