Puasa

Semua orang pasti mengenal puasa. Sejak kecil kita telah dididik untuk memahami bulan puasa alias bulan ramadhan.
Karena ramadhan adalah bulan yang diwajibkan untuk berpuasa, dimana semua umat muslim berpuasa maka kita memberi nama ”bulan puasa”.

Bulan puasa bagi anak-anak identik dengan tidak makan, tidak minum dan shalat tarawih. Titik. Bahkan buat anak-anak yang masih kecil atau belajar puasa, puasanya hanya setengah hari saja sampai dzuhur. Sisanya dihabiskan dengan main kembang api, petasan, buka puasa bersama dan menanti datangnya hari raya agar bisa mengenakan baju lebaran.

Setelah beranjak remaja perlahan kita mulai mendalami makna puasa. Seiring bertambahnya usia maka ilmu pun bertambah. Kita mulai memahami puasa, puasa tak hanya dijalani saat bulan ramadhan. Ada pula puasa sunnah di luar bulan ramadhan.
Saat remaja kita juga tahu ada ibadah lain yang menyertai bulan puasa selain Baca lebih lanjut

Pramoedya Ananta Toer

Setelah buku kumpulan esai mengenai Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa”, saya sepertinya telah mengenal dekat dengan beliau. Buku ini dibuat dalam rangka memperingati 1000 hari meninggalnya Pram, panggilan akrab untuk sastrawan besar ini, tanggal 1 -7 Februari 2009 para sahabatnya serta sastrawan dan para komunitas pencinta Pram mengadakan acara yang berjudul 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa bertempat di rumahnya – jl. Sumbawa 40, Jetis, Blora.

Kumpulan esai mengenai Pram ini berisi 1000 artikel mengenai Pram yang ditulis oleh sastrawan, jurnalis, kolumnis, budayawan, beberapa keluarga Pram sendiri dan sebagainya. Dan tidak hanya dari orang-orang dalam negeri kita saja, banyak juga sastrawan dan jurnalis asing yang berperan dalam kumpulan esai ini. Dan artikel-artikel tersebut telah dipublikasikan ke media massa periode 2006 – 2009.

Secara garis besar; isi kumpulan esai ini adalah mengenai kehidupan Pram. Seorang sastrawan besar Indonesia yang lahir di Blora tanggal 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta 30 April 2006. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di penjara. Masuk penjara tanpa proses pengadilan. Tiga tahun penjara colonial masa orde lama, 14 tahun masa orde baru, jadi tahanan rumah, tahanan kota dan tahanan negara. Karya-karyanya yang berubpa ribuan cerpen, novel, esai, puisi di bakar dan disita oleh negara. Sungguh suatu hidup yang memilukan. Tak ada kebebasan sama sekali untuk menuangkan aspirasi bagi kita di negara kita saat orde lama.

Namun sepertinya Pram pantang menyerah untuk menulis. Menulis adalah bagian dari hidupnya. Justru saat jadi tahanan di pulau Buru – atau lebih tepatnya diasingkan – periode 1969 sampai Baca lebih lanjut

The Kite Runner

Novel karya Kholed Hosseini ini memang patut diacungi jempol. Tak heran bila termasuk novel best seller dan telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Dan novel ini memang menggugah rasa kemanusiaan dan empati kita kepada saudara sesama muslim di belahan dunia lain.

Novel ini menceritakan tentang persahabatan dua bocah – majikan dan pelayannya – di Afghanistan. Persahabatan sejati antara Amir dan Hassan, walaupun mereka berbeda faham ajaran Islam, sunni dan syiah. Amir adalah seorang bocah anak saudagar kaya di Afghanistan yang mempunyai pelayan bernama Ali dengan anaknya Hassan, seorang Hazara dimana identik dengan Islam syiah.
Sebagian besar Hazara memang termasuk bodoh atau buta huruf, namun Amir selalu setia membacakan buku untuk Hassan di waktu senggang. Mereka sangat hobi bermain layangan dan mengejar layangan putus. Namun justru saat Amir memenangkan suatu turnamen layangan yang merupakan tradisi besar di Afghanistan saat itu, persahabatan antara Amir dan Hassan merenggang. Karena peristiwa heboh sesaat setelah turnamen layangan itu, Amir mengkhianati sobatnya atau bahkan saudaranya sendiri. Mereka tak saling tegur sapa bahkan berpisah. Perasaan bersalah Amir terus menghantuinya hingga ia dewasa. Dan akhirnya ia pun dapat menebus kesalahannya itu di masa depan. Suatu pengorbanan luar biasa demi seorang sahabat.

Cerita ini berlatar belakang suasana Afghanistan. Sejarah Afghanistan tergambar lengkap dalam novel ini. Mulai dari bangsa ini masih merdeka, saat dijajah Rusia sekitar tahun 1976, ketika penjajah Rusia berhenti menjajah karena pahlawan dari negeri itu – Taliban – berhasil mengusir Rusia, ketika rakyat setempat bangga menyambut Taliban sebagai pahlawan yang berhasil mengusir Rusia, ketika rakyat setempat menjadi takut karena kekejian Taliban, saat rezim Taliban menguasai Afghanistan, ketika Afghanistan dikuasai sekutu utara atau Amerika setelah bom WTC 11 September, ketika Taliban ketakutan dan bersembunyi dari tentara Amerika karena diduga terlibat dalam bom WTC. Semuanya langsung terbayang jelas di benak kita ketika membacanya.

Novel ini juga menceritakan tentang kekejaman Taliban terhadap warga Afghanistan. Mereka mengeksekusi para warga yang melanggar peraturan mereka. Kebenaran mengenai hal ini wallahualam, saya memang tidak tahu banyak mengenai politik Timur Tengah.
Tapi, dalam kisah fiksi ini sungguh menggetarkan dan membuat saya terharu. Bahwa ternyata masih banyak saudara kita – sesama muslim – yang kehidupannya tak pernah lepas dari peperangan. Perdamaian adalah hal yang langka bagi warga Afghanistan, yang sebagian besar Muslim, kehidupannya sangatlah miskin dan menyedihkan. Kapankah mereka diberi kebebasan seperti kita?

Sesungguhnya semua umat Muslim adalah bersaudara. Dan saudara terbaik adalah yang saling mendoakan yang terbaik bagi saudaranya yang lain. Bila ada saudara kita berbahagia kita ikut tertawa dan bila ada yang sakit kita turut bersedih. Tidak ada permusuhan dalam saudara. Janganlah kita menyakiti saudara kita sendiri.
Ramadhan telah di depan mata. Mungkin inilah saat terbaik bagi kita untuk mengangkat kedua tangan kita untuk berdoa. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi kita berdoa untuk semua saudara kita sesama muslim – di belahan bumi lain – kepada umat muslim di seluruh dunia. Semoga mereka semua merasakan nikmat ramadhan yang penuh berkah ini seperti kita yang merasakannya di negara yang telah merdeka ini. Amin.

Kebulatan Tekad

Suatu kalimat yang tak asing bila kita mendengar dari suatu pidato diucapkan “semuanya disertai dengan tekad yang bulat”. Tapi sebenarnya, pernah tidak terpikir oleh kita, mengapa harus kata “bulat” yang biasanya menyertai kata “tekad”? Mengapa harus tekad yang bulat? Karena tekad itu berarti suatu keinginan atau keyakinan. Untuk melakukan sesuatu keyakinan benar-benar harus utuh bila ingin terlaksana dengan sempurna. Bulat menggambarkan suatu lingkaran dalam bentuk dimensi tiga yang saling berhubungan satu sama lain tanpa terputus. Bila satu saja sudah rusak dalam dimensi yang bulat berarti bulatan itu tidak akan sempurna untuk menjadi sebuah bola.

Begitu pula bila kita bertekad untuk melakukan sesuatu, bila tidak dilakukan secara utuh, sulit mencapai cita-cita yang sempurna. Baca lebih lanjut

Catatan Pinggir

Artikel dengan judul Catatan Pinggir ini selalu ada di halaman belakang majalah Tempo. Ditulis dengan apik oleh satrawan Goenawan Mohammad yang juga pengelola majalah Tempo. Isi tema-nya tergantung dari sikon yang sedang hangat dibicarakan publik.

Yang menarik dari catatan pinggir ini, memang terlihat makna “pinggir”-nya dari sebuah berita. Mungkin itu juga alasannya artikel ini selalu ada di halaman belakang majalah Tempo. Dari kolom yang hanya ditulis dalam satu halaman ini, dapat dilihat secara sarat makna sebuah tema yang disajikan. Isi artikelnya tertera sebuah catatan dari sebuah berita yang biasanya luput dari pengamatan orang pada umumnya. Seperti catatan pinggir dengan judul B.O. (Boedi Oetomo) yang tertera pada majalah Tempo edisi spesial Mei 2008 lalu. Yang ditulis oleh Goenawan Mohammad adalah karakter seorang Wahidin Soedirohusodo yang merupakan salah satu pendiri B.O. Bukan semata-mata sejarah dari organisasi Budi Utomo yang sudah banyak diketahui publik. Di artikel tersebut Goenawan Mohammad juga menceritakan perjalanan para lulusan STOVIA yang masih dikenal sebagai “dokter jawa”. Sesuatu yang luput dari perhatian massa selama ini. Pantas untuk dikatakan sebagai “Catatan Pinggir”

Walaupun “Pinggir” tapi makna yang dikemukakan dalam artikel ini sangat dalam dan mengena ke hati dan pemikiran para pembacanya. Gaya bahasanya sangat lugas, kritik namun disampaikan dengan nilai sastra tinggi, kadang dituturkan pula dalam bentuk puisi.

Judul-judul dari artikel ini juga menimbulkan daya pikat tersendiri bagi pembacanya. Sering ditulis dalam singkatan seperti B.O. untuk Boedi Oetomo, D.D. untuk Douwes Dekker, Aladin untuk Ali Sadikin. Sangat menarik karena judulnya memang biasanya hanya terdiri dari satu atau dua kata saja, namun isinya sangat dalam.

Apakah masih ada penulis atau jurnalis lain yang bisa menulis suatu artikel singkat dan padat dengan nilai sastra tinggi seperti ini? Saya salut dengan Goenawan Mohammad, namun manusia pastilah terikat dengan tenggat usia. Bila beliau tak ada nanti, apakah ada yang bisa meneruskan generasi “Catatan Pinggir” seindah ini? Saya tak ingin kehilangan lagi kesempatan membaca artikel sehebat Catatan Pinggir. Mas Goenawan, tolong wariskan ilmunya kepada kami yang selama ini hanya sebatas sebagai pembaca untuk meneruskan “Catatan Pinggir”-mu. (arlin)